Mangitua: Pejuang Tanah Adat Sihaporas April 18, 2021

Trauma delapan tahun lalu masih membekas di benak Mangitua Ambarita, 65 tahun. Kengerian mendadak terbayang di wajahnya, demi mengingat saat tiba-tiba digelandang ke  kantor polisi.  Saat dia sedang  bercocok tanam di ladangnya, mendadak  sekitar  20 polisi tanpa  banyak kata langsung membawanya. 

Ia bahkan  tak sempat  pulang untuk  berganti pakaian.  Ia hanya sempat membesarkan hati anaknya,  Andreas Mangitua , yang juga berada di ladang, untuk tidak takut. Belakangan warga Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara itu tahu ia dituduh menyerobot lahan sebuah perusahaan. 

Mangitua yang akrab dipanggil  Ompu Moris, merasa ngeri karena gara-gara peristiwa itu keluarganya  berantakan. Istrinya akhirnya sakit  dan kena stroke, kedua anaknya gagal meneruskan pendidikan ke  universitas  negeri karena tak ada biaya.  Sejak ia ditangkap otomatis istri dan anak-anaknya harus menghidupi sendiri  diri mereka. 

Penangkapan terhadap Mangitua adalah buntut konflik lahan masyarakat adat Sihaporas  dengan perusahaan yang mengklaim pemilik lahan yang menjadi garapan Mangitua dan warga lainnya.  Konflik berlangsung bertahun-tahun dan  tak kunjung  selesai.  Warga pun kembali menggarap ladang tersebut. Termasuk Mangitua yang menjabat Wakil Ketua Umum Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras).  

Pendudukan lahan  tersebut  dilakukan masyarakat  adat  setelah aksi demo berkepanjangan sejak 1999 hingga 2001 untuk menuntut dikembalikanya lahan adat , yang kini dikuasai  korporasi. Warga masyarakat Sihaporas sampai  membentuk wadah Panitia Pengembalian Tanah Adat Ompung Mamontang Laut Ambarita disingkat PALITO MALAM SIHAPORAS. 

Selain masalah kepemilikan lahan, Mangitua dan penduduk Sihaporas menolak pengelolaan lahan oleh korporasi besar karena khawatir akan merusak lingkungan. Ada sejumlah indikasi yang mulai muncul, misalnya saat hujan turun, air sungai-sungai di Sihaporas menjadi kotor-tercemar. Penyebabnya karena banyak penebangan hutan. “Dulu, air selalu jernih dan debitnya besar. Sekarang air menjadi berkurang walaupun musim hujan. Dan akan kering saat kemarau. Ada juga, racun hama atau pestisida, racun yang disemprotkan ke lahan eucalyptus. Insektisida bekasnya akan mengalir ke sungai yang dimanfaatkan penduduk. Dampak jangka panjangnya  menimbulkan penyakit.”

Beberapa tahun Ialu, warga Sihaporas sempat dikejutkan dengan matinya ikan-ikan di sungai Sungai Maranti dan Sungai Sidogor-dogor yang diduga dampak  penggunaan racun untuk pembasmi hama.

Warga  sempat marah dan membuat aduan ke Polres Simalungun di Pematangraya, dan Polsek Sidamanik. Mereka membawa bukti ikan-ikan yang mati. Mereka menemukan bangkai ikan-ikan dan kepiting di kamp pekerja.  Warga menemukan 2 botol racun merek Gol Ma, dan 11 botol racun hama merk Confidor. Racun tersebut lazim digunakan sebagai campuran pestisida. Mereka juga menolak penebangan dan penggundulan hutan alam, termasuk merusak sempadan sungai. 

Sebaliknya, penduduk kawasan itu masih memelihara tradisi yang menjaga lingkungan dan kelestarian hutan. Aturan adat mereka menetapkan tata ruang hutan, mana yang bisa dimanfaatkan dan area mana yang tidak. Selain itu ada tujuh ritual Ompu Mamontang Laut yang menggunakan unsur-unsur alam.  Antara lain ikan semah yang lazim ditemui di sungai deras dan jernih. Kemudian  ikan pora-pora, getah kemenyan sebagai dupa, dan rudang (aneka tumbuhan) dari hutan, seperti kayu jungjung buhit, soban natata (kayu bakar mentah jungjung buhit yang tumbuh di hutan. Lalu rudah sae-sae, lahe-lahe ri, bane batu yang lazim tumbuh di batu tepi sungai. Ada lagi bambu lemang, bambu penampung air, sendok dari bambu, aek pangurason (air suci)  harus sumber dari air batu yang tidak tercemar. 

Contoh  kearifan lokal yang ramah lingkungan. Bagian dari ritual Menganjab ada kegiatan Robu atau masa pantang ke ladang dan hutan selama tiga hari. Pada hari ketujuh, kemudian dilanjutkan  kegiatan Menangsang Robu, semacam menebus pantang, yakni kegiatan ke hutan. Ya, berdoa ke hutan. “Jadi untuk kami, hutan sangat perlu. Hidup dan ritual adat kami bergantung pada hutan. Oleh karena itu, kami sangat peduli menjaga hutan, termasuk mengadakan  reboisasi, gotong royong menanam hutan, seperti di pinggir sungai,” urai  Mangitua. (*)

DITERBITKAN OLEH PEJUANG IKLIM