Suatu hari, seusai salat subuh, Muhidin berjalan-jalan bersama istrinya di Pantai Sedayu, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara. Pria 60 tahun itu kemudian melihat induk penyu usai mengubur telur-telurnya di pantai. Ini sebenarnya pemandangan yang biasa ia lihat, bahkan sejak kecil. Namun ada yang berbeda hari ini. Induk penyu itu seolah ragu meninggalkan pantai, seperti khawatir meninggalkan telurnya. Sang penyu berjalan sebentar lalu berhenti , menengok ke belakang, lalu berjalan lagi dan berhenti untuk menengok kembali. “Seolah ingin mengatakan selamatkan telurku,” tutur Muhidin. Ketika Muhidin mendekat induk penyu seperti mengeluarkan air mata.
Semenjak pertemuan pada 2014 itu Muhidin merasa terpanggil untuk melakukan penyelamatan habitat penyu di Sedayu. Dengan modal nekat dan pengetahuan seadanya Muhidin mulai merawat telur-telur yang disinggahkan penyu ke pantai. Tak jarang ia meminta atau membeli telur penyu dari tangan pemburu. Untuk keamanan, telur yang dikubur induk penyu di pasir pantai ia pindahkan ke ember atau bak pasir hingga menetas.
Awalnya, banyak telur yang gagal menetas. Dari 400 telur yang didapat, hanya sekitar 70 yang berhasil ditetaskan. Itupun tidak semua tukik (anak penyu) yang bertahan hidup. Hal ini terjadi karena Muhidin langsung melepaskan tukik ke laut begitu menetas. Penyu kecil ini langsung menjadi santapan burung laut dan predator lainnya, seperti jenis ikan berukuran besar.
Agar telur tidak gagal menetas, Muhidin kemudian memilih untuk membiarkan telur tetap di tempatnya dan menetas dengan sendirinya. Agar lebih mudah mengontrol dan tidak diganggu penduduk sekitar, ia memasang tanda di lokasi telur penyu. Membiarkan telur di tempatnya ternyata lebih berhasil. Prosentase tukik yang menetas semakin besar.
Supaya tukik tidak dimakan burung dan ikan, Muhidin memelihara dulu mereka di sebuah kolam dan memberikannya makan hingga cukup umur untuk dilepas ke alam. Masalahnya, kini Muhidin punya ratusan mulut yang harus dikasih makan. Seringkali mereka makan dari ikan tangkapan Muhidin sebagai nelayan. Tapi, kalau ikan yang ditangkap kurang, ia harus merogoh koceknya sendiri untuk membeli ikan di pasar. Ikan yang dibutuhkan lumayan banyak, sekitar 5 kilogram per hari selama 4-8 bulan.
Setiap tahun Muhidin dibantu istri dan anak-anaknya bisa melepasliarkan tak kurang dari 3 ribu ekor tukik ke laut.
Keberhasilan Muhidin melepas banyak tukik ini rupanya direkam oleh para penyu. Kini semakin banyak penyu yang rela bertelur di Pantai Sedayu. Penyu memiliki sistem ekolokasi, yang membuatnya bisa mengenali lingkungannya. Begitu menetas, sebelum terjun ke laut, tukik akan berdiam untuk mengenali lingkungan tempat lahirnya. Saat dewasa dia akan kembali ke tempat kelahirannya untuk bertelur. “Jadi jika tak ada telur yang berhasil menetas karena dikonsumsi dan dijual, tak ada penyu yang kembali bertelur ke tempat itu,” ujarnya.
Tak kurang dari 43 induk penyu setiap tahun selalu kembali ke pantai untuk bertelur, biasanya di pertengahan bulan Mei. Bahkan saking banyaknya, penyu-penyu itu kadang bertelur di bawah saung atau di depan pintu rumah Muhidin yang berdekatan dengan pantai.
Berkat kegigihannya melakukan penangkaran telur penyu, warga setempat yang awalnya tidak peduli, kini berangsur angsur mengurangi perburuan telur penyu. Sahlan nelayan setempat mengaku akhirnya pensiun berburu telur penyu setelah melihat aktifitas Muhidin. Menurut Sahlan, apa yang dilakukan tetangganya itu merupakan hal mulia yang tak pernah terpikirkan. “Di sini sekarang orang tidak lagi menjual telur penyu, kalau ada yang menemukan kami berikan ke Idin (sebutan Muhidin),” tutur Sahlan.
Setelah tujuh tahun secara mandiri melakukan konservasi penyu, keahlianya soal penyu mulai dikenal orang. Banyak yang datang untuk belajar tentang penyu. Mulai dari siswa SD, nelayan, mahasiswa, dosen hingga peneliti.
Muhidin sebenarnya sejak dulu dikenal peduli pada lingkungan. Pada 1996 ia pernah menghadang tiga perahu dengan 20 orang awaknya yang ingin menangkap ikan dengan bom. Ia mengarahkan perahunya ke arah para nelayan nakal itu dan berteriak dalam bahasa Lombok: “Nendek keang bom, buek ikan kami ite, lantong anak-anaknya mate derak kami bau ampok selemak.” Artinya. “Jangan gunakan bom, habis ikan kami di sini, termasuk anak-anaknya akan mati, tidak ada yang bisa kami tangkap lagi nanti.
Terjadi adu mulut hingga nyaris terjadi baku hantam dan ancaman parang. Kalah jumlah, Muhidin mundur untuk mencari bantuan. Ia pun mengumpulkan nelayan-nelayan Pantai Sedayu untuk mengusir nelayan pendatang itu. Akhirnya sekitar 20 perahu nelayan pantai Sedayu datang merangsek, hingga berhasil menghalau para pengebom. Sejak saat itu tak ada lagi nelayan yang berani menangkap ikan dengan bom disekitar pantai Sedayu. Hingga terumbu karang yang luasnya sekitar satu kilometer persegi di pantai Sedayu selamat.
Kepala Bidang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Lombok Utara Abdul Gaib Annas, mengapresiasi apa yang dilakukan Muhidin. Menurutnya, sangat langka orang seperti Muhidin, di usia senjanya masih sangat bersemangat melestarikan alam terutama dunia bahari. “Beliau orang langka, ketulusan dan semangatnya menjaga kelestarian penyu sangat membanggakan,” ujar Gaib.
Menurut Gaib, selama ini Muhidin tak pernah meminta bantuan pemerintah untuk konservasi penyu atau untuk kepentingan keluarganya. Sekalipun minta ia hanya minta untuk dibelikan pengeras suara dan tempat berwudhu untuk wisatawan yang datang. Keikhlasan Muhidin melakukan konservasi inilah yang justru menjadi daya tarik di pantai Sedayu. “Banyak pantai di Lombok Utara, tapi hanya pantai Sedayu yang ada Muhidinnya,” ujar Gaib.
DITERBITKAN OLEH PEJUANG IKLIM