Junerosano, Tak ingin Sampah Hanya Berakhir di TPA October 5, 2021

Sampah telah mengubah hidup Mohamad Bijaksana Junerosano dan orang di sekitarnya. Melalui sampah pemuda ini membangun bisnis dan mempekerjakan tak kurang dari 100 orang, usahanya tersebar di 10 kota dengan omset miliaran rupiah.

Lima belas tahun  sudah, Mohamad Bijaksana Junerosano, 40 tahun menggeluti dunia persampahan. Diawali dengan keresahannya tentang problem  lingkungan semenjak Sekolah Menengah Atas,  ia memantapkan diri untuk terjun di bidang lingkungan. Hingga akhirnya ia memilih kuliah  di Teknik Lingkungan  Institute Teknologi Bandung. Mulai  dari kampus  Sano, panggilan pemuda ini,  menginisiasi pembentukan organisasi peduli sampah.

Ia  mendirikan Greeneration Indonesia di tahun 2005 yang menginisiasi gerakan Kebunku (Kertas Bekas Hijaukan Bangsaku). Gerakan ini dilakukan dengan mengumpulkan kertas bekas untuk membeli bibit tanaman guna menghijaukan kawasan Kiara Condong, Bandung dan berhasil mengumpulkan 350 bibit tanaman.

Dari sana  gairah Sano terhadap persoalan  sampah semakin bangkit, dan mendirikan U-Green ITB sebuah kelompok mahasiswa peduli lingkungan. Sampai akhirnya, satu persatu organisasi  lingkungan ia dirikan, seperti lembaga Greeneration Foundation, Ecoxyztem. Hingga mendirikan   bisnis di bidang sampah yang dinamai Waste4Change pada November 2014.

“Untuk Waste4Change sendiri saya bangun dengan tujuan untuk menyelesaikan permasalahan sampah secara bertanggung jawab dengan prinsip circular economy dan zero waste,” katanya.

Dengan melibatkan para operator sampah yang sebelumnya telah bekerja pada sektor informal, Sano mulai menjajaki bisnis ini.

Namun, perjalanan bisnis yang dibangun pria kelahiran Banyuwangi, 3 Juni 1981 berjalan tak semulus yang dibayangkan. Salah satu penyebabnya karena banyak operator sampah yang tidak tahu bagaimana cara pengelolaan sampah yang menyeluruh.

Berkat ketekunannya, kini para operator sampah itu telah mahir mengelola sampah dan menjadi perpanjangan tangannya mengedukasi keluarga, lingkungan, bahkan klien yang datang ke fasilitas Rumah Pemulihan Material kami untuk melihat bagaimana Waste4Change mengelola sampah mereka.

Waste4Change kini telah berhasil mengelola 7.160 ton sampah. Telah berhasil mengurangi 50 persen sampah yang berakhir di TPA melalui layanan pengelolaan sampah di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Surabaya, Sidoarjo, Semarang, Bandung, dan Medan. “Hingga saat ini, jumlah karyawan full time kami sudah berkisar 90-100 orang,” katanya.

Dari sisi kesejahteraan, para operator persampahan yang sebelumnya berada di sektor informal, saat ini memiliki gaji bulanan setelah bergabung bersamanya. “Sehingga mereka mulai bisa membangun ekonomi keluarga, khususnya memiliki tabungan untuk kebutuhan keluarga dan keperluan pendidikan anak-anaknya.”

Terhadap sampah,  Sano masih memiliki ambisi kuat  yakni menciptakan Zero Waste to Landfill atau memastikan pemilahan sampah dari sumbernya. Sehingga  terolah dengan baik tanpa harus dikirim ke Tempat Pembuangan Akhir. Konsep itulah yang dibawa oleh Waste4Change untuk mengatasi persoalan sampah.

Waste4Change memiliki layanan pengelolaan sampah dari hulu ke hilir yang terdiri dari 4 lini, yakni konsultasi (Consult), kampanye (Campaign), pengumpulan (Collect) dan daur ulan (Create).

Sehingga, selain melakukan pengangkutan, pengolahan dan daur ulang sampah, Ia juga memberikan capacity building, edukasi, pendampingan hingga riset dan studi terkait persampahan.

“Kami betul-betul memiliki keprihatinan dan gemas dengan masalah persampahan yang ada di Indonesia sehingga target kami adalah 100% fokus memberikan layanan pengelolaan sampah dan tidak ada sampah yang tercecer di lingkungan serta membuat polusi,” kata Sano.

Menurut Sano, memerlukan perjuangan keras untuk menuju target tersebut, karena saat ini masih ada tiga aspek fundamental yang belum terwujud dengan baik di Indonesia. Diantaranya penegakan hukum, mekanisme kemitraan yang jelas (termasuk bermitra dengan pemerintah) dan skema pembiayaan yang layak dan berkeadilan.

“Kami berharap dengan adanya kolaborasi antara pihak swasta, pemerintah, dan komunitas, maka ini akan meningkatkan pengelolaan sampah di Indonesia agar semakin optimal dan berkelanjutan.”

Sano pun memiliki target saat Indonesia mencapai usia 100 tahun, manajemen sampah yang optimal sudah dimiliki, sehingga dapat mengurangi jumlah sampah yang berakhir di TPA dan yang mencemari lingkungan.

“Kalau untuk jangka yang lebih pendek, saat ini saya berharap bisa aktif mendukung terwujudnya program pemerintah mencapai Indonesia Bersih Sampah 2025, dan juga bisa menjadi fasilitator dan pegiat implementasi circular economy di Indonesia,” kata Sano.(*)

DITERBITKAN OLEH PEJUANG IKLIM