Intan Yones, Perjuangkan Hutan Untuk Perempuan July 13, 2021

“Hanya mengambil tanpa melestarikan, akibatnya hutan jadi rusak. Padahal, ketika hutan rusak, sumber air pasti rusak, dan akhirnya perempuan sendiri yang paling menderita dan paling susah, beban perempuan akan semakin berat,”

Kehidupan Intan Yones Astika, tak terlepas dari alam. Semenjak kecil ia sudah terbiasa mengenal hijaunya ladang. Intan terbiasa membantu aktivitas orang tuanya, Suyoko dan Kasiah di bidang pertanian.

Kedekatannya  dengan alam semakin ia kenali setelah tinggal dengan bibinya di Kabupaten Rejang Lebong, daerah sentra sayur mayur di Provinsi Bengkulu. Lokasinya berada di lereng perbukitan Bukit Barisan, bagian dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS)

Intan mahfum dengan aktivitas perempuan di desa penyangga sekitar TNKS. Perempuan-perempuan desa itu kadang-kadang harus “kucing-kucingan” mengambil hasil hutan, sebagai bentuk perjuangan untuk tetap hidup.

“Hanya mengambil tanpa melestarikan, akibatnya hutan jadi rusak. Padahal, ketika hutan rusak, sumber air pasti rusak, dan akhirnya perempuan sendiri yang paling menderita dan paling susah, beban perempuan akan semakin berat,” kata Intan.

Perempuan dan alam, relasi kehidupan keduanya tidak bisa dipisahkan. Relasi perempuan dengan alam merupakan relasi reproduksi yang menjamin kelangsungan hidup manusia dan alamnya. Kerusakan hutan jelas membuat kesejahteraan perempuan dan keluarga menurun. Karena perempuan memiliki peran untuk menyediakan kebutuhan dasar, seperti meramu makan dan minum, energi, melakukan pekerjaan rumah tangga, serta menjaga kesehatan keluarga.

“Setiap bulan, perempuan membutuhkan air dalam jumlah yang banyak. Terutama ketika sedang menstruasi,” kata Intan.

Intan Yones Astika bersama KPPSWD dan perempuan desa sekitar TNKS saat beraktivitas di TNKS.

Belum adanya kesadaran dan pengetahuan bahwa perempuan memiliki hak atas hutan, mendorong Intan bersama empat rekannya bersepakat untuk membentuk Komunitas Perempuan Penyelamat Situs Warisan Dunia (KPPSWD), pada 20 Oktober 2016. Mereka mulai melakukan edukasi, membangun kesadaran, bahwa perempuan memiliki hak atas hutan. Tidak hanya hak untuk mengambil manfaat, tetapi juga menyelamatkan hutan.  

Di KPPSWD, dara kelahiran Batu Roto,  30 Maret 1996,  menyebarkan  informasi melalui newsletter Jendela Perempuan Desa (JPD). Berupa tulisan yang dibuat redaksi KPPSWD tentang kegiatan perempuan di desa penyangga TNKS.  Newsletter tersebut dicetak dan diedarkan dengan dukungan dari Non Timber Forest Product- Exchange Programme Indonesia (NTFP-EPI).  

Selama pandemi, Intan dan rekannya juga berkolaborasi dengan Bincangperempuan.com, kembali memproduksi  newsletter, dengan dukungan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Unesco. Tulisannya berisi informasi upaya-upaya yang dilakukan perempuan di desa sekitar TNKS  dalam menghadapi pandemi Covid-19.  Tak hanya sebatas newsletter, mereka juga mulai membuat website sendiri, https://jendelaperempuandesa.wordpress.com dengan tagline utama “memperjuangkan hak-hak perempuan atas lingkungan hidup”. Serta berkampanye lewat media sosial, facebook dan instagram.

“Kami membangun narasi konservasi berbasis hak perempuan sebagai perwujudan hak asasi manusia, perempuan,” imbuhnya.

Keseriusannya berkegiatan di KPPSWD membuat Intan akhirnya ditunjuk menjadi Ketua Bidang Perempuan di  LivE Indonesia. Disini, Intan makin leluasa melakukan pendampingan terhadap gerakan perempuan desa penyangga TNKS.  Bersama perempuan- perempuan desa dari berbagai suku dan status sosial yang berbeda,  mereka melakukan audiensi dengan Wakil Bupati Kabupaten Rejang Lebong, Gubernur Provinsi Bengkulu serta pemerintahan terkait  penentuan kebijakan  dan dukungan memperjuangkan hak-hak perempuan atas lingkungan hidup/TNKS/Hutan Warisan Dunia. Serta melakukan inventarisasi tumbuhan yang ada di TNKS.

Intan (jilbab coklat paling kanan) saat menghadiri undangan ASEAN HPC ke-6 di Laos

Perjuangannya akhirnya tidak sia-sia, saat ini dua kelompok perempuan yakni Desa Pal VIII dan Desa Tebat Tenong Luar mendapatkan akses pengelolaan kawasan hutan dengan pola kemitraan dari Balai Besar TNKS. Kelompok perempuan ini diperbolehkan mengelola hutan di kawasan TNKS tanpa merusak hutan. Mereka menjaga hutan agar tetap lestari sembari mencari sumber penghidupan, yakni dengan memanfaatkan kecombrang, pakis, bambu dan daun pulutan.

Selain menambah penghasilan rumah tangga, peluang itu juga berdampak pada potensi lapangan kerja baru yang rendah karbon bagi perempuan di kawasan TNKS. Kelompok perempuan ini juga mendobrak praktik ketidakadilan gender dalam pengelolaan kawasan hutan Negara.

“Mereka dapat menjadi role model, bagaimana ketika hutan dikelola oleh perempuan,” katanya.

Konsisten gerakan yang dilakukan Intan mendapatkan apresiasi dari banyak pihak. Sebagai mitra dari Balai Besar TNKS, Intan sempat diundang sebagai delegasi Indonesia untuk menyuarakan suara perempuan terkait keberlangsungan hutan dalam Asean Heritage Park Conference ke-6 tahun 2019 lalu di Pakse, Lao PDR, Champasak, Laos.   Tak hanya itu, tahun 2020 lalu, Intan juga terpilih sebagai  satu dari 30 Women Change Maker di Indonesia. Intan berpartisipasi dalam program She Create Change-Green Camp 2.0. (*)

DITERBITKAN OLEH PEJUANG IKLIM