Prawita Tasya, Restorasi Terumbu Karang dengan Biorock July 20, 2021

“Laut adalah bagian penting kehidupan manusia, termasuk terumbu karang di dalamnya. Namun keberadaanya kian hari kian terancam, oleh sampah dan perubahan iklim. Hal itu diperburuk dengan ketidak pedulian penduduk sekitar laut, atau warga pesisir,”

Terumbu karang adalah habitat bagi hewan laut, seperti halnya hutan bagi satwa di daratan. Jika terumbu karang hilang maka terancam kehidupan banyak spesies laut. Hal tersebut disadari banyak pihak sejak dahulu. Namun gerakan untuk mengkonservasi karang yang rusak   belumlah menjadi gerakan yang meluas.

Sementara kerusakan terumbu karang akibat pemanasan global dan penangkapan  ikan dengan bom  terus menerus mengancam keberadaan terumbu karang.

Beruntung ada sejumlah aktivis yang konsisten  melakukan perbaikan terumbu karang seperti halnya Biorock Indonesia. “Laut adalah bagian penting kehidupan manusia, termasuk terumbu karang di dalamnya. Namun keberadaanya kian hari kian terancam, oleh sampah dan perubahan iklim. Hal itu diperburuk  dengan ketidak pedulian penduduk sekitar laut, atau warga pesisir,” ujar  Direktur Eksekutif Biorock Indonesia Prawita Tasya Karissa.

Menurut Tasya  orang yang peduli dengan kondisi itu biasanya hanya mereka yang memiliki keterkaitan langsung, lainnya tidak.  “Jangankan soal perubahan iklim, kadang bagaimana kondisi lingkungan,  mereka tidak tahu,” kata perempuan yang keahliannya  me-restorasi terumbu karang telah diakui dunia.

Ia mencontohkan saat melakukan penelitian di kawasan Kepulauan seribu, Jakarta. Tak banyak warga disana tak peduli dengan kondisi laut. Bahkan seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) juga tidak begitu peduli dengan kondisi lingkungan laut. “Sepertinya sudah tidak terkoneksi,” ujarnya.

Program pemerintah soal konservasi laut termasuk terumbu karang dan perubahan iklim selama ini dipaparkan dalam bahasa ilmiah yang sulit dimengerti oleh masyarakat pesisir. Sehingga masyarakat  tak terdorong untuk ikut andil mengatasi kerusakan lingkungan. Kondisi itu lah yang mendorong perempuan kelahiran Yogyakarta, 36 tahun ini tetap konsisten me-restorasi  terumbu karang melalui teknologi Biorock.

Perempuan yang  mengenal teknologi Biorock sejak 2003 ini, mengatakan untuk mendorong keterlibatan masyarakat peduli lingkungan mereka harus melakukan pendekatan. Oleh karena  itu Biorock dalam menjalankan proyek  di suatu wilayah akan mengawalinya dengan pendekatan kepada masyarakat penerima manfaat. “Cuma, pemerintah sebagai pembuat program kadang ragu menjalankan hal itu,”  ujar perempuan yang  tesisnya tentang Penerapan Biorock pada  Pearl Oyster Juvenile, Pinctada Maxima (Kerang Mutiara), dipresentasikan di seluruh dunia pada konferensi Society Ecological Restoration di Merida, Meksiko pada tahun 2011.

Biorock Indonesia adalah organisasi non-profit yang bergerak di bidang rehabilitasi terumbu karang dan perlindungan pantai. Memiliki visi agar masyarakat pesisir di seluruh Indonesia mampu menggunakan teknologi biorock dalam upaya melindungi dan memperbaiki terumbu karang.

Teknologi biorock dipatenkan pada tahun 1979 oleh ilmuwan asal Jerman, Prof Wolf Hilbertz. Biorock telah digunakan pada tahun 2000 di Pantai Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng Bali untuk restorasi terumbu karang berbasis komunitas. 

Teknologi biorock memanfaatkan listrik aliran rendah yang disalurkan ke struktur besi. Energi listrik akan menarik senyawa kimia terlarut di laut seperti kalsium karbonat dan magnesium hidroksida ke permukaan besi sehingga terbentuk batu yang disebut biorock. “Disinilah tempat berkembang terumbu karang,” tutur Tasya.

Metode ini dianggap sebagai metode tercepat untuk menumbuhkan karang, karena dapat menumbuhkan karang 5 kali lebih cepat dari biasanya.

Sebagai mahasiswa pada Jurusan Perikanan di Universitas Gadjah Mada, Tasya kenal dengan teknologi biorock pada 2003 langsung dari ahlinya Prof Wolf Hilbertz, hingga akhirnya tertarik dengan metode ini. Tasya memulai projek penerapan teknologi biorock dengan anak-anak mahasiswa pada beberapa titik pantai di Indonesia, hingga 2015 Tasya mendirikan Biorock Indonesia.

Indonesia yang memiliki luasan  terumbu karang mencapai 50.875 km2,  terbentang dari Sabang sampai Merauke. Sekitar 36 persen kondisinya  telah mengalami kerusakan. Untuk usaha konservasi ini Biorock Indonesia sudah melatih lebih dari 1.000 orang di 13 lokasi dan hasilnya telah memulihkan 200 kilometer persegi terumbu karang dan 5 kilometer pantai.

Lokasi yang dilakukan pemulihan yang berada di pantai Pemuteran dan Pejarakan (Bali), Ambon (Maluku), Gili Trawangan (NTB), Gili Air (NTB), Jambi Anom (NTB), Desa Penyaring, Moyo Utara, Sumbawa (NTB), Pulau Gangga (Sulawesi Utara), Pulau Bangka (Sulawesi Utara), Pulau Sepa (DKI Jakarta), Pulau Kotok (DKI Jakarta), Pulau Pramuka (DKI Jakarta) dan Desa Waha, Wakatobi (Sulawesi Tenggara).

“Untuk penanganan abrasi, kami sempat bantu salah satu resort di Mentawai untuk pemulihan garis pantai sepanjang 200 meter belum lama ini,” kata Tasya.

Biorock Indonesia memiliki beberapa program, seperti Biorock Garden yakni usaha pemulihan terumbu karang yang dilakukan dengan cara transplantasi karang pada struktur biorock yang akan dirawat oleh tim gardener dan relawan, Scholar Reef atau pengenalan ekosistem terumbu karang pada mahasiswa atau pelajar.  “Gerakan ini juga akan memastikan suara komunitas lokal terdengar,” ujar Tasya.

Mereka juga membuat program kemitraan yang menumbuhkan pariwisata sehingga berdampak pada warga lokal. Serta  Shore Protection sebuah usaha perbaikan atau pemulihan pantai yang telah mengalami abrasi. Tasya mengakui bahwa sejauh ini, konservasi terumbu karang masih sangat saintifik atau berbasis proyek.

Biorock Indonesia juga sedang merancang konsep konservasi terumbu karang dengan melibatkan langsung pengunjung atau wisatawan. “Misalkan, perawatan terumbu karang dananya disisihkan dari tiket berkunjung. Hal ini diperlukan agar perawatan dan pelestarian terumbu karang bisa terus dilakukan. Ini bisa jalan jika kondisi sudah menjadi normal,” ujarnya. (*)

DITERBITKAN OLEH PEJUANG IKLIM