Adi Reza, Ubah Limbah Kayu Jadi Bahan Kulit July 5, 2021

Melalui startup Mycotech, Adi mengubah limbah kayu menjadi papan komposit dan bahan kulit untuk industri fashion.

Adi Reza Nugroho, 32 tahun, tak menyangka usaha rintisan (startup) di bidang bioteknologi yang ia gagas bersama teman-temanya delapan tahun silam akan berbuah manis. Adi merupakan salah satu penggagas startup Mycotech yang mengembangkan produk kulit berbahan jamur.

Ia bercerita, awalnya pada 2012, Adi bersama empat rekan, Arekha Bentang, Ronaldiaz Hartantyo, Annisa Wibi Ismarlanti dan Robbi Zidna Ilman, memulai langkahnya membuat startup di bidang bioteknologi.

Adi tidak langsung terpikir untuk membuat produk kulit dari jamur. Semula ia hanya mengembangkan  usaha budidaya jamur tiram untuk konsumsi. Usahanya berupa Growbox yang dipasarkan kepada masyarakat. Ia juga mengajak masyarakat menanam hingga memanen sendiri jamur tiram.

“Ternyata jamur bisa jadi bahan matrial, aku kaget juga, sampai sekarang sampai detik ini  kayak percaya gak percaya, takjub lah,” kata Adi, ditemui Jumat, 25 Juni 2021.

Seiring berjalannya waktu, Adi bersama rekannya mulai tertarik melakukan riset tentang jamur. Ia menelisik lebih jauh manfaat jamur selain untuk disajikan di atas piring sebagai lauk makan. Pada 2015, Mycotech berhasil memproduksi papan komposit atau partikel board, dimana bahan dasar perekatnya menggunakan jamur Basidiomycota.

Papan komposit itu merupakan bahan dasar berbagai macam produk furnitur dari mulai meja, lemari hingga pintu. Adi mengaku keunggulan papan komposit buatan Mycotech dengan papan konvensional adalah lebih ramah lingkungan.

Proses pembuatan papan komposit itu mirip dengan cara membuat tempe, dimana butiran kedelai merekat dengan bantuan jamur rhizopus oryzae. Menurutnya, papan komposit itu sama sekali tidak menggunakan zat kimia berbahaya semisal lem kimia ataupun resin yang biasa digunakan di papan biasa.

“Kita menggunakan mycellium (semacam akar) jamur dimana kita menumbuhkan jamur itu sudah dalam bentuk lembaran, jadi bisa dibilang itu bagian jamur,” katanya.

Sukses membuat papan komposit, Mycotech terus berinovasi dan giat meneliti seluk beluk jamur. Mycotech kolaborasi dengan beberapa kampus luar negeri hingga Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

“Kita kolaborasi riset dengan BPPT di Serpong, ETH Zurich, Future Cities Lab di Singapura. Queensland sama kita juga riset untuk property investigation dan LIPI juga,” ujarnya

Baru pada 2017, Mycotech berhasil menelurkan produk baru, berupa lapisan mycelium yang menyerupai kulit. Produk kulit yang mereka namakan kulit mycellium atau mylea itu pun kini laris manis di pasaran. Adi menggaet beberapa perusahaan sandang di tanah air, semisal perusahaan sepatu hingga jam tangan.

Kulit mylea ternyata sangat cocok digunakan sebagai pengganti kulit hewan ataupun kulit sintetis. Adi mengaku kalau kulit jamur itu ternyata lebih kuat terhadap panas bila dibandingkan dengan kulit sintetis. Berdasarkan riset dari Universitas Queensland, Australia, kulit itu bisa tahan api hingga 600 derajat celcius.

Bahan bakunya mayoritas menggunakan limbah pertanian semisal bubuk kayu, limbah kelapa sawit hingga ampas tebu. Namun, saat ini mayoritas bahan baku masih menggunakan bubuk kayu.

“Pertahun itu kita menyerap limbah kayu sekitar 4 ton. Masih kecil sih karena memang ada plan ke depan bisa lebih banyak. Kita proyeksi di 2023 menyerap sekitar 500 ton setahun,” ujarnya.

Dalam menjalankan bisnisnya, Adi dan kawan-kawan selalu mempertimbangkan aspek lingkungan. “Jadi kita menjalankan namanya impact measurement setiap tahun. Ada aspek lingkungan juga sosial dilibatkan,” katanya.

Mycotech menghitung dengan detail ihwal emisi karbon yang dibuang,  juga gas-gas tak ramah lingkungan dari proses produksi. Juga menghitung daya serap limbah pertanian sebagai bahan baku utama proses produksi. “Kita ngitung berapa limbah pertanian yang kita serap, bisa diolah, juga yang dibuang ke landfield, kita hitung,” ujarnya.

Mycotech pun bekerjasama dengan World Resource Institute (WRI) untuk tujuan mengurangi emisi gas buang. Targetnya lima tahun ke depan emisi gas buang bisa tereduksi cukup banyak. “Kalau dari Co2-nya kita bisa lebih hemat 7,7 kilogram, kalau dari airnya kita bisa menghemat sekitar 75 ribu liter per square foot. Penggunaan lahan juga sama ada hitungannya,” kata dia.

Selain itu, untuk aspek sosial, Adi menyebut merekrut pekerja hingga 30 pegawai untuk Mycotech, dengan jumlah karyawan wanita dan laki-laki seimbang.

Adi menambahkan standar upah hingga jumlah pekerja perempuan dan lelaki bisa dibilang seimbang. Total ada sebanyak 30 pegawai yang bekerja di Mycotech. Selain itu, Mycotech pun memiliki sebanyak 200 kelompok petani jamur yang tersebar di Jawa Barat.

“Kenaikan upah yang didapatkan sebelum dan setelah bekerja itu semuanya ada impact measurement. Itu bisa kita ukur dan bahkan bisa kita targetkan di tahun berikutnya,” ujarnya.

Urusan pasar dan konsumen, Adi mengaku tidak terlalu kesulitan. Mycotech menjual aneka produknya mulai dari dalam negeri maupun luar negeri. Pasar dalam negeri pun terbilang cukup bagus.

Hasil riset tim marketing, persentase konsumen luar negeri dan dalam negeri cenderung berimbang.  “Artinya kan masyarakat kita pun sudah mulai berminat untuk produk hijau (ramah lingkungan),” katanya.

Bahkan kapasitas produksi kulit jamur sudah penuh sampai 2027, mendatang. Makanya, Adi dan kolega berencana mengembangkan bisnis industri hijaunya itu, dengan penambahan skala rumah produksi. Ia menargetkan hal itu akan terealisasi pada 2022, nanti.

Modal yang dibutuhkan tentu tidak sedikit. Musababnya, untuk merealisasikan itu, Mycotech membutuhkan dana sekitar 4 juta dollar US.

“Masa depan industri hijau itu kita lihat kayaknya bagus. Disitu juga orang makin aware, makin banyak capital, banyak orang di luar sana membiayai perusahaan karena aspek hijaunya tadi. Kita menggalakkan itu karena masa depan Indonesia ada di industri hijaunya,” ucapnya. 

Beberapa penghargaan telah disabet Mycotech. Terbaru, startup itu berhasil memboyong penghargaan Circular Economy Enterprise di acara Sankalp Global Award 2020. Ia juga memenangkan Low Carbon ward dari SEED.

DITERBITKAN OLEH PEJUANG IKLIM