Lia Putrinda, Selamatkan Sendangbiru dari Paceklik July 31, 2021

Lia dan ayahnya Saptoyo berjibaku menyelamatkan pantai Clungub, Sendangbiru dari penggundulan mangrove dan kerusakan terumbu karang, yang mengakibatkan nelayan paceklik tangkapan ikan. Kerja keras mereka bertahun tahun, telah memulihkan hijaunya pantai dan meningkatkan pendapatan warga dengan pariwisata.

Pantai Clungub, Sendangbiru, Desa Tambakrejo, Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang adalah tempat bermain masa kanak-kanak Lia Putrinda Anggawa Mukti, 28 tahun.  Wilayah pantai yang asri dengan hutan bakau atau mangrove yang menghijau dan sejuk.  Namun  saat  dia beranjak dewasa  Lia menyaksikan kondisinya berangsur-angsur mulai gersang dan tandus.

Lia mengenang saat kelas lima SD,  tahun 2004 pernah diajak ayahnya Saptoyo berjalan jalan di Pantai Clungup.  Lokasinya hanya sepelemparan batu dari rumahnya di perkampungan nelayan tangkap penghasil tuna di selatan Malang. Saat itu ia  sudah menyaksikan  kerusakan hutan bakau di sana, karena dibabat untuk pembukaan lahan tambak yang berlangsung sejak 1998.

Dampaknya selain pantai menjadi gersang dan panas, para nelayan di Sendangbiru juga mengeluhkan sulitnya mendapat tangkapan dan terjadi masa paceklik ikan. Ditambah lagi banyaknya aktivitas penangkapan ikan menggunakan  potasium, semakin menambah kerusakan terumbu karang di sana.  

Melihat kondisi itu bapak anak itu kerap menyambangi pantai Clungup dan mulai menanami aneka jenis mangrove. Seperti memiliki kegiatan rutin Lia mengaku tak bisa main kemana mana. “ Kegiatan kami hanya melakukan penanaman  mangrove di pantai itu” ujarnya

Pada 2011, Saptoyo mulai mengajak tetangga untuk ikut  aksi konservasi mangrove. Mereka lalu mendirikan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Gara Olah Alam Lestari (GOAL). Pokmaswas GOAL ini mendapat dukungan  Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Malang.

Sementara  Lia melanjutkan sekolah ke SMP di Kota Malang. Sejak saat itu, ia kerap menuliskan pengalaman dan kegiatan lingkungannya di majalah dinding sekolah dan di koran lokal. “Sekaligus membantu mempublikasikan gerakan lokal di Sendangbiru,” ujar Lia.

Saat libur sekolah, ia memilih pulang ke desa dan menanam mangrove. Aktivitas itu dilakukan sampai Lia menginjak SMA. Lulus SMA Katolik Santo Albertus di Malang ia mendapat tawaran  menempuh pendidikan di sebuah perguruan tinggi di Australia dan Jerman. Namun, kesempatan itu tak diambilnya. Ia memilih kuliah di Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya.

Ia kuliah sambil terus berkegiatan konservasi. Lia juga mengajak mahasiswa kampusnya untuk  terlibat dalam aktivitas penanaman mangrove. Sambil menggalang donasi untuk konservasi. Namun, menginjak semester tiga ia memutuskan berhenti kuliah.

“Saya kuliah kehidupan saja, menekuni aktivitas konservasi di pesisir selatan Jawa,” katanya.

Tak disangka, kegiatan donasi untuk mangrove mendatangkan fitnah  ia dianggap melakukan pungutan liar (pungli).  Lia dan bapaknya, Saptoyo dilaporkan dan sempat diperiksa penyidik Reserse Kriminal Kepolisian Resor Malang di Kepanjen. Keduanya sempat menginap di markas Polres Malang selama semalam.

Lia mengaku tak menyesali  berhenti kuliah dan fokus dalam gerakan konservasi. Lia yang telah memiliki dua putri ini menganggap keputusannya tak sia-sia, untuk  pulang kampung dan menikah. “Apa yang dilakukan ini semoga menjadi ladang ibadah.,” katanya.

Kasus pelaporan  itu mengguncang Pokmaswas GOAL. Hingga terjadi seleksi alam pada anggota kelompok. Pada 2013 dari 78 petani yang bergiat di konservasi mangrove pelan pelan mundur,  tersisa hanya enam orang.

Mereka lantas mendirikan lembaga baru,  Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru. Lembaga ini memiliki kegiatan diantaranya  unit pariwisata, Clungup Mangrove Conservation (CMC) Tiga Warna. Lembaga ini menjadi tempat melakukan perlindungan sumber daya pesisir. “Tinggal tersisa enam orang. Niat ingsun saja,” kata Lia.

Mereka melindungi dan mengawasi pesisir seluas 81 hektar. Terdiri atas enam pantai. Awalnya, tujuannya hanya untuk konservasi mangrove dan terumbu karang. Tanpa orientasi untuk mengembangkan menjadi objek wisata.  

Mereka menjalin kerjasama dengan Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan Universitas Brawijaya. Pesisir yang dikelola juga menjadi laboratorium alam bagi para mahasiswa. Belakangan banyaknya kunjungan orang ke area itu, perlahan-lahan mereka mulai kelola kawasan pesisir menjadi objek wisata.

Namun, kehadiran banyak  tamu mendatangkan  persoalan tersendiri.  Banyaknya pengunjung yang datang  mengakibatkan timbunan sampah, terutama sampah plastik. Akhirnya Lia mengusulkan pengunjung untuk diperiksa perbekalannya, dan diminta untuk membawa kembali sampah yang dibawanya. “Tamu diperiksa saat masuk dan keluar,” katanya.

Pada 2015 CMC Tiga Warna dikembangkan menjadi. Tiga warna spesial, lantaran  ada hampar terumbu karang yang indah. Pengunjung bisa snorkeling dan menikmati keindahan terumbu karang. Sejak diluncurkan, pengunjung membludak. Sehingga mereka menetapkan pembatasan jumlah pengunjung. “Dibatasi waktunya hanya dua jam maksimal 100 pengunjung,” ujarnya.

Kuota kunjungan, dibatasi  untuk perlindungan kawasan. Sebab banyaknya pengunjung akan meningkatkan resiko rusaknya terumbu karang. “Kegiatan snorkeling berisiko menginjak terumbu karang, padahal menumbuhkan karang butuh bertahun tahun,” ujar Lia.

Calon wisatawan juga diharuskan memesan secara daring atau booking online terlebih dahulu. Sedangkan setiap Kamis, pesisir di tutup bagi seluruh aktivitas wisata, untuk  mereka melakukan pemantauan dan pemulihan.

Masa pandemi Covid-19 menjadi tantangan tersendiri. Akibat kebijakan yang terus berubah. Kegiatan pariwisata di sana sedikit terganggu, padahal telah disiapkan standar protokol kesehatan untuk wisata.  Secara ekologis, dan teknis pemulihan kawasan juga telah selesai. Kini, saatnya memetik hasil untuk memanfaatkan,  agar masyarakat setempat dapat manfaat selain manfaat menebang pohon dan mangrove.

 Dari kerja keras  mereka kini hampir 90 persen masyarakat dusun Sendangbiru mendukung apa yang dilakukan Lia dan Saptoyo. Kepercayaan diri masyarakat juga meningkat, setelah banyak institusi pemerintah dan lembaga swasta studi banding ke tempatnya.

Sedangkan dari  sektor ekonomi, masyarakat mulai merasakan hasilnya. Terutama di unit pariwisata, home stay dan kuliner yang melibatkan sekitar 109 orang. Sementara di perhutanan sosial  melibatkan 926 orang dan 30 orang lainnya terlibat di perlindungan sumber mata air. Dari jumlah itu sekitar 40 persen diantaranya perempuan.

Kini petani Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru telah menerima Surat Keputusan Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) atas lahan hutan seluas 826 hektar. Hutan lindung ini kondisinya  sudah rusak. Hanya tersisa 30 persen hutan lindung yang utuh selebihnya berubah jadi kebun pisang dan tebu.  “Seharusnya lahan dengan kemiringan 45 derajat ditanam pohon berakar kuat. Kami masih identifikasi tanaman yang tepat ditanam di sana,  seperti sukun, bendo, dan beringin,” ujar Lia. (*)

DITERBITKAN OLEH PEJUANG IKLIM