Deti Kurnia, Penjaga Hutan Betung Kerihun June 17, 2021

“Masyarakat dapat merasakan manfaat menjaga alam, ketimbang mengambil manfaat yang menyebabkan alam tersebut rusak,”

Lebatnya rimba dan keangkeran Taman Nasional Betung Kerihun-Danau Sentarum,  Kalimantan Barat tak membuat Deti Kurnia  mundur  saat  disodori penugasan  sebagai Pengendali  Ekosistem  Hutan di  Resort Nanga Potan. Sebuah  lokasi terpencil di Desa Tanjung Lasa, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat  yang berbatasan langsung dengan Serawak,  Malaysia.

Deti  memang menyukai  alam bebas, namun tak memiliki gambaran seperti apa hutan Kalimantan.  “Soalnya tahunya  ya hutan seperti di Jawa,  ternyata hutan di Kalimantan luas banget,” ujarnya. 

Deti mendapatkan banyak informasi mengenai hutan Kalimantan yang luasnya mencapai 1 juta hektar dan bagaimana suku aslinya di sana.   Namun ia mencoba menguatkan diri dan bertekad untuk tidak gentar menghadapi penugasan itu.

Setelah  lulus dari Fakultas Kehutanan,  Universitas Gadjahmada,  Deti memang memutuskan untuk mengabdikan diri di lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.  Penugasan pertama pada 2018 sebagai Pengendali Ekosistem Hutan, dan ditempatkan di Dusun Nanga Potan, bagian dari Taman Nasional  Betung Kerihun.

Kehidupannya berubah jauh, dari hiruk pikuk perkotaan menuju  daerah nan terpencil. Kesehariannya bercengkeramah dengan alam,  hutan, sungai dan pepohonan. Waktunya banyak  dihabiskan untuk mengamati keragaman isi hutan, rerimbunan, pohon-pohon besar dan aliran sungai perawan.

Awalnya kehidupan terasa asing. Namun Deti akhirnya mensyukuri dapat bertugas dan mengabdikan diri di wilayah paling luar Indonesia. Dimana dirinya  dapat menyaksikan alam dengan keanekaragaman hayati  yang berlimpah di Taman Nasional Betung Kerihun-Danau Sentarum. “Itu yang membuat saya memantapkan diri, mengabdi di sini,” tambahnya.

Tugas  dan kewajiban sebagai seorang Pengendali Ekosistem adalah memberi perlindungan dan pengamanan kawasan  taman nasional  dan ekosistem di dalamnya. Termasuk melakukan pemetaan serta  indentifikasi berbagai jenis keanekaragaman yang  ada di dalamnya.  

Saat pertama kali bertugas, Deti merasakan adanya ketegangan antara masyarakat dengan petugas Taman Nasional.  Masyarakat berpandangan bahwa keberadaan taman nasional sebagai perwakilan negara, membatasi hak hidup masyarakat adat. “Ini menjadi tantangan saya untuk bisa mengambil hati masyarakat”.

Mulailah Deti melakukan pendekatan kepada masyarakat,  dengan berbagai kegiatan untuk menaklukan hati masyarakat. Dia melihat peluang, untuk bisa mendekati masyarakat  melalui program “Rimbawan Mengajar”. Cara itu digunakan Deti untuk mendekati masyarakat lewat  anak-anak. “Anak-anak yang nanti akan bercerita kepada orang tuanya, bahwa komitmen kita adalah mendorong masyarakat sekitar hutan untuk lebih sejahtera,” kata Deti.

Kebetulan di lokasinya terdapat satu satunya SD Negeri. Denti pun menawarkan  kesediaan untuk mengisi  kelas tambahan. “Awalnya saya tak langsung masuk soal isu   lingkungan, namun melipir pada hal-hal umum, seperti mengajak anak-anak latihan baris berbaris, olahraga, mendongeng atau menggambar,” ungkapnya.

Lama-kelamaan hubungan pun menjadi cair. Anak-anak tak segan mengajak Deti untuk bermain di alam, mengeksplore sekitar mereka sambil  belajar. Dari sana edukasi  tentang hutan dan pelestarian alam dijejalkan ke masyarakat  adat. “Kegiatan ini kadang saya lakukan setelah mengerjakan pekerjaan pokok. Capek tapi bahagia,” katanya. 

Deti bertekad, seperti petuah senior-seniornya di tempat kerja, dedikasi pada pekerjaan baru dapat dirasakan setelah memberikan jejak atau warisan di daerah mana mereka bertugas. “Saya ingin diingat dekat dengan warga, dan bersama-sama membangun wilayah,” katanya.

Hubungan yang mencair menyebabkan program-program dampingan yang dirancang untuk masyarakat bisa berjalan. Salah satunya dengan pemberian  bantuan sapi  bergulir pada kelompok peternak di desa. Saat ini, sudah 13 sapi anakan yang telah berhasil dipelihara warga.

Program bantuan ini bertujuan  meningkatkan pendapatan masyarakat, serta berharap agar aktivitas masyarakat di dalam kawasan konservasi bisa dibatasi, karena ada kegiatan lain. Negara mengakui keberadaan masyarakat adat yang lebih dulu bermukim di sekitar kawasan hutan, sebelum kawasan tersebut dinyatakan sebagai kawasan konservasi.

Masyarakat diberikan keleluasaan mengambil ikan di sungai sekitar taman nasional. Desa tempat Deti bertugas, adalah desa terakhir yang berbatasan langsung dengan kawasan penyangga taman nasional,  yang wilayahnya mencakup  dua gunung,   gunung Betung dan gunung Kerihun. Bertugas di ujung negeri tidak membuat Deti bosan. Dia bahkan bersyukur dapat bekerja di alam, sekaligus menikmati kesegarannya yang jauh dari hiruk pikuk kota.

Berkat  ketekunan dan prestasinya kini Deti dipercaya menduduki posisi sebagai  Kepala Resort Nanga Potan, Seksi Wilayah II, Tanjung Kerja Wilayah I Mataso, Taman Nasional Betung Kerihun.   Dimana tugas dan kewajibannya makin  besar, dari sekedar seorang jagawana.

Desa tempat Deti bertugas, sebenarnya tidak terlalu jauh dari ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu. Namun, baru tahun ini desa ini merasakan sambungan listrik. “Pihak desa juga baru mengajukan untuk mendapatkan fasilitas telekomunikasi. Terlebih sekarang sekolah harus online, sinyal di sini susah sekali,” tukasnya.

Potensi eko wisata di Kabupaten Kapuas Hulu sangat terbuka lebar, dan harus memberikan dampak secara langsung kepada masyarakat setempat. “Dengan demikian, masyarakat dapat merasakan manfaat menjaga alam, ketimbang mengambil manfaat yang menyebabkan alam tersebut rusak,” katanya. (*)

DITERBITKAN OLEH PEJUANG IKLIM